noteline update – BANJAR, Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar menjadi sorotan terkait perbedaan data prevalensi stunting yang signifikan antara sumber nasional dan data yang mereka kelola sendiri.
Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan tentang akurasi dan validitas informasi yang digunakan untuk mengukur keberhasilan program penanggulangan stunting di daerah tersebut.
Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banjar, Noripansyah, awalnya enggan memberikan komentar langsung terkait isu ini.
Dia mengarahkan wartawan untuk menghubungi Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat, Siti Hidayati.
Siti Hidayati menjelaskan bahwa data stunting yang digunakan oleh Dinkes Kabupaten Banjar berasal dari sistem Elektronik Pencatatan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGPM), yang kini dikenal sebagai SIGIZI KESGA.
Data ini dikumpulkan melalui penimbangan dan pengukuran bulanan oleh kader posyandu di seluruh wilayah kerja. Pada tahun 2024, pengukuran telah dilakukan pada hampir 96 persen balita.
Siti Hidayati juga menyoroti perbedaan metodologi antara data EPPGPM dan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI.
SSGI hanya melibatkan 10 balita di setiap wilayah kerja dan dilakukan dua tahun sekali.
Bahwa dalam survei yang sempat diikutinya, hanya 3 dari 10 balita yang hadir.
Oleh karena itu, Dinkes Kabupaten Banjar lebih memilih menggunakan data EPPGPM karena dianggap lebih representatif.
Namun, data yang dipublikasikan di laman Satu Data Kabupaten Banjar menunjukkan angka prevalensi stunting yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) dan SSGI yang dilakukan oleh Kemenkes RI.
Pada tahun 2023, SKI mencatat angka stunting di Kabupaten Banjar sebesar 30,1 persen, yang meningkat menjadi 32,3 persen pada 2024 berdasarkan SSGI.
Sementara itu, data di laman Satu Data Kabupaten Banjar menunjukkan angka 24,38 persen pada 2024 dan 20,89 persen pada 2023.*