noteline update-NASIONAL, Polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Pati memasuki babak baru.
Nasib Bupati Sudewo kini berada di tangan Fraksi Gerindra di DPRD Pati, meski partai tersebut hanya memiliki enam kursi.
PDI Perjuangan sebagai penguasa dewan dengan 14 kursi, juga menjadi kunci dalam menentukan arah politik Pati.
Sudewo, yang memenangkan Pilkada dengan dukungan koalisi besar termasuk Gerindra, PKB, NasDem, Golkar, PKN, Gelora, PSI, dan Perindo, serta faktor popularitas Jokowi, kini menghadapi gelombang tekanan.
Kemenangan dengan 53 persen suara seolah tak berarti di tengah gejolak politik yang ada.
Jejak digital menunjukkan kedekatan Sudewo dengan Jokowi, yang menitipkan pesan khusus terkait perikanan dan produksi garam Pati.
Namun, kini, setelah aksi demonstrasi besar, lobi-lobi politik bawah tanah menjadi penentu: mempertahankan atau melengserkan Sudewo.
DPRD Pati telah menyatakan akan membentuk panitia angket, namun jalan menuju pelengseran masih panjang.
Sudewo sendiri telah meminta maaf dan membatalkan kenaikan PBB yang mencapai 250 persen, yang kemudian diklarifikasi menjadi 120 persen akibat “salah ucap” dalam pertemuan dengan camat dan Pasopati pada 18 Mei 2025.
“Saya akui saya salah omong. Semestinya 120 persen,” ujarnya.
Dengan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp 450 miliar, Pati sebenarnya memiliki potensi besar.
Namun, kontribusi PBB hanya Rp 30 miliar karena sudah 14 tahun tidak mengalami kenaikan.
Sudewo, yang memiliki latar belakang aktivis dan politikus ulung, dikenal sebagai operator lapangan yang berhasil mengantarkan Anas Urbaningrum menjadi ketua umum Partai Demokrat.
Setelah absen dari politik, ia kembali melalui Gerindra dan berhasil menjadi anggota DPR sebelum akhirnya terpilih menjadi Bupati Pati.
Kepercayaan diri yang tinggi membuatnya berani menaikkan PBB, namun justru memicu gelombang demonstrasi.
Bahkan, tantangan terhadap Yayak Gundul, yang diduga sebagai penggerak demo, berujung pada aksi yang lebih besar dan ricuh.
Pertemuan damai antara Sudewo dan Yayak Gundul justru memicu kemarahan dari Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, yang menganggap Yayak sebagai “Sengkuni”.
Misi demo pun bergeser dari penolakan kenaikan PBB menjadi pelengseran Sudewo.
Terlepas dari itu, nama Pati kini dikenal di seluruh Indonesia, bahkan melebihi Magetan.*