Tunjangan Rumah DPR Picu Kontroversi, Antara Kesejahteraan Anggota Dewan dan Beban Anggaran Negara

by admin note line update
13 views

noteline update- NASIONAL, Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih sulit, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menerima tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai kelayakan dan prioritas anggaran negara.

Tunjangan ini terungkap setelah anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menyebutkan bahwa penghasilan resminya dari gaji pokok, tunjangan rumah, dan tunjangan lainnya melebihi Rp 100 juta.

Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa tunjangan rumah ini merupakan pengganti fasilitas rumah dinas.

Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menilai bahwa keputusan ini tidak patut di tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat.

Egi menyoroti kenaikan harga kebutuhan pokok dan pajak yang semakin membebani warga.

ICW menghitung bahwa tunjangan rumah ini berpotensi menyebabkan pemborosan anggaran hingga Rp1,74 triliun selama masa jabatan anggota DPR.

Angka ini sangat signifikan, terutama saat pemerintah tengah berupaya melakukan efisiensi anggaran.

Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut tunjangan ini sebagai “bahasa politik dari istilah subsidi”

Lucius menilai bahwa banyaknya subsidi yang diterima anggota DPR tidak sebanding dengan kinerja mereka yang seringkali mengecewakan.

Meskipun Ketua DPR Puan Maharani mengklaim bahwa DPR telah menindaklanjuti ribuan laporan masyarakat dan menyelesaikan pembahasan sejumlah Rancangan Undang Undang (RUU), banyak pihak menilai bahwa partisipasi publik dalam proses legislasi masih minim.

Beberapa RUU bahkan menuai kontroversi dan unjuk rasa karena dianggap tidak melibatkan aspirasi masyarakat.

Fasilitas rumah dinas yang seharusnya menjadi alternatif juga dipertanyakan kondisinya.

Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menyebutkan bahwa banyak rumah dinas yang rusak dan membutuhkan renovasi besar.

Namun, ICW menemukan adanya anggaran yang dialokasikan untuk pemeliharaan rumah dinas tersebut, sehingga muncul dugaan adanya perencanaan yang tidak transparan.

Tunjangan rumah ini menambah daftar panjang tunjangan yang diterima anggota DPR, seperti tunjangan komunikasi, tunjangan reses, dan tunjangan kunjungan kerja.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan relevansi tunjangan-tunjangan tersebut dalam meningkatkan kinerja DPR.

Survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69%, menempatkan DPR di peringkat ke-10 dari 11 lembaga.

Hal ini menjadi indikasi bahwa persoalan kinerja dan kepercayaan publik masih menjadi tantangan besar bagi DPR.

Dengan adanya tunjangan rumah ini, diharapkan anggota DPR dapat lebih fokus dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat.

Namun, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran tetap menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik dan menghindari potensi pemborosan.*

Lainnya

Edtior's Picks

Latest Articles