Gelar Haji: Dari Alat Pengawasan Kolonial hingga Simbol Status Sosial

by admin note line update
8 views

noteline update – SEJARAH, Pada masa kolonial, pemerintah Belanda memberikan gelar “Haji” kepada mereka yang pulang dari ibadah haji, bukan sebagai bentuk penghormatan, melainkan sebagai strategi pengawasan.

Hal ini didorong oleh kekhawatiran akan potensi radikalisasi dan perlawanan yang dibawa para jemaah haji yang terpapar ide-ide Pan-Islamisme dari Timur Tengah.

Tokoh-tokoh seperti Rasyid Ridha, Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Abduh, yang pemikirannya mendorong perlawanan terhadap penjajahan, menjadi sumber kekhawatiran bagi pemerintah kolonial.

Momentum ibadah haji dimanfaatkan untuk bertukar pikiran dan merencanakan strategi perlawanan, membuat pemerintah Belanda waspada.

Pemerintah kolonial bahkan membatasi perjalanan haji bagi para sultan, regent, dan elite penguasa lokal untuk membendung potensi pemberontakan. Tokoh seperti Syekh Nawawi al-Bantani, yang aktif dalam dakwah dan perlawanan terhadap kolonialisme, menjadi target pembatasan pergerakan.

Sir Stamford Raffles dalam bukunya, The History of Java, mencatat kekhawatiran akan pengaruh para haji yang dihormati dan berpotensi menghasut rakyat untuk memberontak.

Gelar “Haji” yang disematkan sejak tahun 1916 berfungsi sebagai tanda pengenal dan memudahkan pengawasan terhadap para jemaah.

Strategi ini dianggap lebih efisien daripada mengawasi setiap individu di berbagai daerah.

Namun, pandangan ini mendapat tantangan dari beberapa pihak, termasuk Snouck Hurgronje dan Konsul Hindia Belanda di Jeddah, yang menyarankan agar prosedur haji dipermudah.

Mereka berpendapat bahwa semakin banyaknya jemaah haji akan mengurangi kesan istimewa gelar tersebut, sehingga mengurangi potensi radikalisasi.

Ironisnya, gelar “Haji” yang dulunya menjadi alat pengawasan kolonial, kini telah bergeser maknanya.

Gelar tersebut lebih banyak dipandang sebagai simbol status sosial dan spiritual, melupakan sejarah kelam di balik pemberiannya.

Perjalanan haji yang dahulu penuh perjuangan, baik secara finansial maupun administratif, kini telah berbeda.

Kemudahan akses dan teknologi telah mengubah pengalaman haji, sehingga makna perjuangan dan pengetahuan agama yang mendalam yang melekat pada gelar tersebut mulai memudar.

Meskipun demikian, perjuangan untuk menunaikan ibadah haji tetaplah sesuatu yang patut dibanggakan.*
Diolah dari berbagai sumber
foto net

Lainnya

Edtior's Picks

Latest Articles